“Maafkan aku yang egois menilaimu tanpa mengenalmu terlebih dahulu..
Maafkan aku yang bicara di belakangmu tanpa tahu kebenaranmu..
Maafkan aku yang sering mencelamu tanpa ingat kebaikanmu..”
Kaca
yang telah pecah tidak akan utuh ketika disatukan kembali, bukan? Apa bedanya
dengan perkataan yang menyinggung hati seseorang? Tidak ada. Ketika kata
“maaf” mungkin bisa menyembuhkan, kenapa mulut ini masih enggan mengatakannya?
Apakah raga ini sudah merasa sempurna?