“Aku selalu bermasalah
dengan rindu. Rindu yang memenuhi seluruh tubuhku, membuat ngilu ruas-ruas
tulangku...”
Aku lah orang yang ‘kan s’lalu mengawasimu
Menikmati indahmu dari sisi gelapku
Dan biarkan aku jadi pemujamu
Jangan pernah hiraukan perasaan hatiku
Kenalkan, aku Dewangga. Pria berkacamata
dengan postur tubuh dan berat badan rata-rata, mata coklat dengan kulit sawo
matang. Aku adalah siswa Sekolah Menengah Atas di salah satu sekolah favorit di
sudut kota Magelang. Ini adalah tahun ketigaku di sekolah ini. Tahun yang sama
saat aku memutuskan untuk menitipkan hatiku pada seseorang. Aku sepakat jika
temanku menilaiku pemberani saat di kelas bahkan saat aku mengikuti lomba debat
politik tahun lalu. Tapi mereka tidak pernah tau betapa pengecutnya aku saat
beradu pandang dengan perempuan ini. Namanya Andrea. Mereka tidak pernah tau
bagaimana rasa rindu yang menyeruak setiap detik. Mereka tak pernah tau betapa
tersiksanya menahan perasaan ini. Sampai saat ini genap tiga tahun aku
mengaguminya... dalam diam.
Tahun Pertama
Ini bukan perayaan ulang tahun yang harus
diperingati. Ini adalah tentang menghargai sebuah penantian. Penantian seorang
punguk yang merindukan bulan. Aku sadar bahwa mencintainya layaknya menuruni
jurang tanpa tali. Penuh risiko. Tetapi untuk melupakannya, buatku seperti
melupakan nama kedua orangtuaku. Tidak akan bisa. Ya, kecuali kepalaku
terbentur benda keras.
“Dewangga! Kamu ngapain ngelamun di sini? Ayo ke kantin!”
“Bay, kau mengagetkanku saja. Hmm... tidak, aku tidak mood makan. Kamu duluan saja...”
Sebenarnya aku tak ingin pandanganku
beranjak pergi. Pagi ini kulihat Ia menuruni anak tangga perlahan, jam sembilan
lewat lima belas. Biasanya Ia menghabiskan jam istirahat pertamanya di
perpustakaan. Tak pikir lama aku langsung menyusulnya. Saat di perpustakaan aku
ingat bagaimana aku meraih buku secara acak kemudian duduk di seberang tempat
duduknya. Memilih spot terbaik sehingga bisa memandanginya sebebas yang kubisa.
Kebiasaannya sudah menjadi kebiasaanku sekarang.
“An, ke kelas yuk...”
Aku mendengar suara seseorang memanggil
namanya. Buku di mejapun menjadi sasaran untuk menutupi muka sembari mencuri
pandang ke arah suara itu. Orang-orang yang lewat di depanku tertawa. Rupanya
buku yang kupegang terbalik. Klasik memang, orang jatuh cinta kadang tak punya
kendali atas dirinya. Beginilah rutinitas ini berjalan terus hingga tahun
pertama berlalu.
You can be amazing
You can turn a phrase into a weapon or a
drug
You can be the outcast
Or be the backlash of somebody’s lack of
love
Or you can start
speaking up...
Tahun Kedua
Satu tempat, satu jalur, namun berbeda
arah tujuan. Aku mulai membiasakan diriku dengan caraku mencintainya. Hanya
kadang aku selalu bermasalah dengan rindu. Rindu yang memenuhi seluruh tubuhku,
membuat ngilu ruas-ruas tulangku. Aku sudah berjalan terlalu jauh, menunggu
terlalu lama. Rasanya sudah jauh dari kata kembali.
“An, kamu nyadar gak sih ada yang merhatiin kita?”
“Apasih? Aku ga ngerasa apa-apa kok, perasaanmu aja kali”.
Pergi menjauh perlahan. Seperti itulah
tingkahku saat gadis pujaanku atau temannya mulai menyadari keberadaanku. Aku
sadar tak bisa terus seperti ini. Tapi aku terlalu pengecut untuk menyapanya.
Mungkin juga dia tak tahu siapa aku. Hanya mendengar namanya saja jantungku
sudah hampir keluar dari tempatnya. Biarlah rasa ini hanya aku dan Tuhan yang
tahu. Aku sudah berani mencintai maka aku harus berani menanggung segala
risikonya. Masih dalam diam dan dari jauh aku menjaganya, sampai tahun kedua
berlalu.
Tahun Ketiga
Taukah kamu apa yang kulakukan ketika aku
sangat merindukanmu? Aku
berjalan ke luar, mengamati bintang-bintang, lalu menutup mataku dan
membayangkan kau berada di sisiku sedang merasakan rindu yang sama. Kesempatan
mana lagi yang aku dustakan. Aku harus. Atau aku akan menyesal selamanya. Tapi
aku terlalu pengecut. Sudahlah, kuurungkan segala niat untuk mengajaknya bicara
meski ini kesempatan terakhirku. Mungkin memang sudah waktunya aku kembali.
“..maaf, jam berapa ya?
Siapa orang yang bertanya ini, suaranya
seperti tak asing. Aku menoleh sembari menjawab pertanyaannya.
“Jam 21.00. Eh.”
Deg! Begitu melihat sosoknya, aku bisa
merasakan jantungku berdetak lebih cepat. Semenit pertama aku sempat berpikir
bahwa ini hanya mimpi. Bidadari pujaanku sedang berdiri tepat di hadapanku.
Melempar senyum termanisnya. Dan tidak ada yang kulakukan kecuali diam seperti
orang kebingungan.
“Oh iyaa, terimakasih ya. Dewangga bukan?
Eh, iya k..kamu..?” Sepertinya ia ingin menanyakan sesuatu padaku waktu itu.
Tapi....
“An, sini deh foto bareng. Gapake lama ya!!!”
“Duh, Iya iya...!!”
“Aduh, maaf ya kayanya aku harus buru-buru pergi. Sampai jumpa...D..Dewangga.”
“S...sampai jumpa, Andrea...”
Dia tahu namaku? Kenapa ia bilang sampai
jumpa? Apa dia berharap untuk bertemu lagi denganku? Ribuan pertanyaan terus
terlintas di kepalaku. Jujur saat itu aku bingung. Antara kecewa karena
pertannyaanya terpotong atau senang karena ia segera pergi dari hadapanku.
Karena aku takut akan pingsan jika Ia berlama-lama di depanku. Sampai pesta
perpisahan berlalu, kita tak berbicara lagi. Kenapa di saat aku ingin mundur
justru Tuhan seolah memberi sinyal padaku untuk tetap memperjuangkan
Andrea.
Kupikir tahun ketiga akan menjadi bab
kesimpulan dari perjalanan kisahku. Ternyata tidak. Aku memutuskan untuk
melanjutkan kisah ini ke bab berikutnya. Tahun berikutnya sampai aku tak tahu
kapan aku akan menutup buku ini.
TO
BE CONTINUED
Tidak ada komentar:
Posting Komentar