Rabu, 17 September 2014

Pemuja Rahasiamu

“Aku selalu bermasalah dengan rindu. Rindu yang memenuhi seluruh tubuhku, membuat ngilu ruas-ruas tulangku...”


Aku lah orang yang ‘kan s’lalu mengawasimu
Menikmati indahmu dari sisi gelapku
Dan biarkan aku jadi pemujamu
Jangan pernah hiraukan perasaan hatiku

Magelang, 2012

Kenalkan, aku Dewangga. Pria berkacamata dengan postur tubuh dan berat badan rata-rata, mata coklat dengan kulit sawo matang. Aku adalah siswa Sekolah Menengah Atas di salah satu sekolah favorit di sudut kota Magelang. Ini adalah tahun ketigaku di sekolah ini. Tahun yang sama saat aku memutuskan untuk menitipkan hatiku pada seseorang. Aku sepakat jika temanku menilaiku pemberani saat di kelas bahkan saat aku mengikuti lomba debat politik tahun lalu. Tapi mereka tidak pernah tau betapa pengecutnya aku saat beradu pandang dengan perempuan ini. Namanya Andrea. Mereka tidak pernah tau bagaimana rasa rindu yang menyeruak setiap detik. Mereka tak pernah tau betapa tersiksanya menahan perasaan ini. Sampai saat ini genap tiga tahun aku mengaguminya... dalam diam. 

Tahun Pertama

Ini bukan perayaan ulang tahun yang harus diperingati. Ini adalah tentang menghargai sebuah penantian. Penantian seorang punguk yang merindukan bulan. Aku sadar bahwa mencintainya layaknya menuruni jurang tanpa tali. Penuh risiko. Tetapi untuk melupakannya, buatku seperti melupakan nama kedua orangtuaku. Tidak akan bisa. Ya, kecuali kepalaku terbentur benda keras.
“Dewangga! Kamu ngapain ngelamun di sini? Ayo ke kantin!” 
“Bay, kau mengagetkanku saja. Hmm... tidak, aku tidak mood makan. Kamu duluan saja...”

Sebenarnya aku tak ingin pandanganku beranjak pergi. Pagi ini kulihat Ia menuruni anak tangga perlahan, jam sembilan lewat lima belas. Biasanya Ia menghabiskan jam istirahat pertamanya di perpustakaan. Tak pikir lama aku langsung menyusulnya. Saat di perpustakaan aku ingat bagaimana aku meraih buku secara acak kemudian duduk di seberang tempat duduknya. Memilih spot terbaik sehingga bisa memandanginya sebebas yang kubisa. Kebiasaannya sudah menjadi kebiasaanku sekarang.
“An, ke kelas yuk...”

Aku mendengar suara seseorang memanggil namanya. Buku di mejapun menjadi sasaran untuk menutupi muka sembari mencuri pandang ke arah suara itu. Orang-orang yang lewat di depanku tertawa. Rupanya buku yang kupegang terbalik. Klasik memang, orang jatuh cinta kadang tak punya kendali atas dirinya. Beginilah rutinitas ini berjalan terus hingga tahun pertama berlalu.

You can be amazing
You can turn a phrase into a weapon or a drug
You can be the outcast
Or be the backlash of somebody’s lack of love
Or you can start speaking up...

Tahun Kedua

Satu tempat, satu jalur, namun berbeda arah tujuan. Aku mulai membiasakan diriku dengan caraku mencintainya. Hanya kadang aku selalu bermasalah dengan rindu. Rindu yang memenuhi seluruh tubuhku, membuat ngilu ruas-ruas tulangku. Aku sudah berjalan terlalu jauh, menunggu terlalu lama. Rasanya sudah jauh dari kata kembali.
“An, kamu nyadar gak sih ada yang merhatiin kita?” 
“Apasih? Aku ga ngerasa apa-apa kok, perasaanmu aja kali”.

Pergi menjauh perlahan. Seperti itulah tingkahku saat gadis pujaanku atau temannya mulai menyadari keberadaanku. Aku sadar tak bisa terus seperti ini. Tapi aku terlalu pengecut untuk menyapanya. Mungkin juga dia tak tahu siapa aku. Hanya mendengar namanya saja jantungku sudah hampir keluar dari tempatnya. Biarlah rasa ini hanya aku dan Tuhan yang tahu. Aku sudah berani mencintai maka aku harus berani menanggung segala risikonya. Masih dalam diam dan dari jauh aku menjaganya, sampai tahun kedua berlalu.

Tahun Ketiga

Taukah kamu apa yang kulakukan ketika aku sangat merindukanmu? Aku berjalan ke luar, mengamati bintang-bintang, lalu menutup mataku dan membayangkan kau berada di sisiku sedang merasakan rindu yang sama. Kesempatan mana lagi yang aku dustakan. Aku harus. Atau aku akan menyesal selamanya. Tapi aku terlalu pengecut. Sudahlah, kuurungkan segala niat untuk mengajaknya bicara meski ini kesempatan terakhirku. Mungkin memang sudah waktunya aku kembali.
“..maaf, jam berapa ya?

Siapa orang yang bertanya ini, suaranya seperti tak asing. Aku menoleh sembari menjawab pertanyaannya.
“Jam 21.00. Eh.” 

Deg! Begitu melihat sosoknya, aku bisa merasakan jantungku berdetak lebih cepat. Semenit pertama aku sempat berpikir bahwa ini hanya mimpi. Bidadari pujaanku sedang berdiri tepat di hadapanku. Melempar senyum termanisnya. Dan tidak ada yang kulakukan kecuali diam seperti orang kebingungan. 

“Oh iyaa, terimakasih ya. Dewangga bukan? Eh, iya k..kamu..?” Sepertinya ia ingin menanyakan sesuatu padaku waktu itu. Tapi....
“An, sini deh foto bareng. Gapake lama ya!!!”
“Duh, Iya iya...!!”
“Aduh, maaf ya kayanya aku harus buru-buru pergi. Sampai jumpa...D..Dewangga.”
“S...sampai jumpa, Andrea...”

Dia tahu namaku? Kenapa ia bilang sampai jumpa? Apa dia berharap untuk bertemu lagi denganku? Ribuan pertanyaan terus terlintas di kepalaku. Jujur saat itu aku bingung. Antara kecewa karena pertannyaanya terpotong atau senang karena ia segera pergi dari hadapanku. Karena aku takut akan pingsan jika Ia berlama-lama di depanku. Sampai pesta perpisahan berlalu, kita tak berbicara lagi. Kenapa di saat aku ingin mundur justru Tuhan seolah memberi sinyal padaku untuk tetap memperjuangkan Andrea. 

Kupikir tahun ketiga akan menjadi bab kesimpulan dari perjalanan kisahku. Ternyata tidak. Aku memutuskan untuk melanjutkan kisah ini ke bab berikutnya. Tahun berikutnya sampai aku tak tahu kapan aku akan menutup buku ini.

TO BE CONTINUED

*OST: Pemuja Rahasia by Sheila On 7 and Brave by Sara Bareilles 
*Cerpen ini terinspirasi dan didedikasikan sepenuhnya untuk sahabat kesayangan saya, Tondo. Thanks to sahabat kesayangan juga, Elga atas dukungan dan kekampretannya =) tunggu kelanjutannya. cheers!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar